Jumat, 15 Agustus 2008

PERBANKAN SYARI’AH DAN PENYELESAIAN SENGKETA

I. Pendahuluan

Berbicara mengenai lembaga ekonomi syari’ah, khususnya di Purwokerto & sekitarnya,tidak akan terlepas dari peran keberadaan perbankan syari’ah dan asuransi syari’ah serta Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang sekarang ini sudah banyak berdiri. Dalam wilayah BI Purwokerto sendiri telah ada dua bank umum syari’ah, yakni Bank Muamalat Indonesia (sejak 2004) dan Bank Syari’ah Mandiri (sejak 2006). Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) di wilayah eks karsidenan Banyumas bahkan sudah ada 6 , yakni BPRS Buana Mitra Perwira di Purbalingga, BPRS Khasanah Ummat dan BPRS Bina Amanah Satria di Purwokerto,BPRS Artha Leksana di Wangon, BPRS Suriyah di Cilacap, dan BPRS Bumi Artha Sampang di Sampang. Demikian juga dengan Asuransi Syari’ah, telah ada Asuransi Takaful, Asuransi Syarikah Mubarokah, dan Asuransi Bumida Syari’ah. Untuk BMT bahkan sudah tercatat lebih dari 30 yang berbadan hukum resmi, belum termasuk koperasi konvensional yang menjelma menjadi BMT dalam operasionalnya.
Memang perkembangan lembaga keuangan syari’ah, khususnya perbankan syari’ah begitu besar, baik di daerah,nasional, bahkan internasional. Hal ini tidak lepas dari semakin sadarnya masyarakat untuk bertransaksi non ribawi, disamping jasa keuangan syari’ah juga telah mampu bersaing dengan jasa keuangan konvensional, baik dari segi layanan maupun kualitas produknya. Sehingga jika kita sebagai muslim/ah tinggal di perkotaan namun belum mengenal jasa keuangan syari’ah (khususnya Bank Syari’ah) akan menjadi katrok (kampungan) kalau boleh meminjam istilah dari Tukul Arwana.
Sejarah awal perbankan syari’ah awalnya mulai mewujud di Mesir pada dekade 1960-an dalam bentuk rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit di pedesaan) yang bernama Mit Bhamr Bank binaan Prof.Dr.Ahmad Najjar. Dan pada Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975,berdirilah Islamic Development Bank (IDB) yang beranggotakan 22 negara pada awal berdirinya. Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syari’ah,sehingga pada priode 1970-an dan awal 1980-an bank-bank syari’ah banyak bermunculan di Mesir, Sudan, Negara-negara Teluk,Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki. Sedang di Indonesia, bank syari’ah pertama berdiri pada era 1990-an, yakni pada tanggal 1 Mei 1992 dengan berdirinya PT.Bank Muamalat Indonesia di Jakarta. Berdirinya bank ini tidak lepas dari peran Majelis Ulama Indonesia dan para cendekiawan muslim yang tergabung dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan juga tokoh-tokoh pemerintah pada waktu itu.
Awal berdirinya masih memakai dasar hukum UU Perbankan No.7 tahun 1992 tentang Perbankan yang mengandung ketentuan tentang bolehnya bank beroperasi dengan sistem bagi hasil. Kemudian berkat perjuangan kaum professional dan cendekiawan, maka timbul amandemen yang melahirkan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang memuat ketentuan & aturan lebih rinci tentang bank syari’ah. Hal ini juga tidak terlepas dari prestasi bank syari’ah pada waktu itu (dalam hal ini Bank Muamalat Indonesia), sebagai salah satu bank yang tetap eksis,walaupun diterpa krisis moneter 1998. Bahkan dengan system syari’ah yang diterapkan, Bank Muamalat pada saat krisis moneter tidak satu rupiah pun menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai upaya pemerintah untuk mengobati bank-bank sakit pada waktu. Dan selanjutnya, setelah pasca krismon 1998, perkembangan perbankan syari’ah semakin melejit, bukan hanya penambahan jumlah Bank Umum Syari’ah yakni Bank Syari’ah Mandiri & Bank Mega Syari’ah Indonesia, tetapi juga semakin menjamurnya Bank Konvensional yang membuka Unit Usaha Syari’ah (UUS), seperti BNI Syari’ah,BRI Syari’ah,BTN Syari’ah, Danamon Syari’ah, Bank IFI Syari’ah, BII Syari’ah, Bank Permata Syari’ah, Bank Jabar Syari’ah, Bank DKI Syari’ah dll.

II. Perbedaan Bank Syari’ah & Bank Konvensional
Orang masih sering mempersepsikan sama antara bank syari’ah dan bank konvensional (bank non syari’ah). Padahal banyak perbedaan secara prinsip dan operasional antara keduanya. Berikut disajikan dalam bentuk tabel:

No.
Bank Syari’ah
Bank Konvensional (Non Syari’ah)
1.

2.

3.

4.


5.


6


7.
8.
Melakukan Investasi-Investasi yang halal (sesuai Syari’ah Islam)
Menggunakan prinsip bagi hasil, jual beli, sewa dan akad-akad muamalah lainnya.
Profit & falah (mencari kemakmuran di dunia & kebahagiaan akhirat) oriented.
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan.

Penghimpunan & penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)
Landasan hukumnya menggunakan hukum positif dan Syari’ah Islam.

SDM & lingkungan kerja yang Islami
Ada Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)

Investasi yang halal dan haram

Memakai perangkat bunga.

Profit oriented.

Hubungan dgn nasabah dlm bentuk hubungan creditur-debitur

Tidak ada ketentuan tersebut.

Landasan hukumnya hanya hukum positif (konvensional)

Tidak ada ketentuannya.
Tidak ada DPS.


III. Kegiatan Bank Syari’ah dan Sengketa Perbankan

Tabel kegiatan usaha Bank Syari’ah:
Menghimpun dana Masyarakat
Jenis
GIRO
TABUNGAN
DEPOSITO
Prinsip Syari’ah
Wadiah
Mudharabah
Wadiah
Mudharabah
Mudharabah
Penyebab Sengketa
Pemalsuan & Penyalahgunaan tanda tangan.
Penggunaan Personal Identification Number (PIN) oleh yg tdk berhak.
Bank dilikuidasi oleh pemerintah.
Alat Bukti
Perjanjian Pembukaan Rekening & Contoh Tanda Tangan
Keterangan Saksi
Keterangan Terdakwa
Keterangan Ahli
Buku Tabungan, Bilyet Deposito, Kartu ATM, Cek/BG.

Penyaluran Dana Kepada Masyarakat
Jenis

Pembiayaan
Jual Beli
Lainnya
Prinsip Syari’ah
Mudharabah Musyarakah
Murabahah
Salam
Istishna
Qordh
Ijarah
Penyebab Sengketa
Wan prestasi
Alat Bukti
Akad (Perjanjian Pembiayaan)
Keterangan Saksi
Keterangan Terdakwa
Keterangan Ahli

Lahirnya undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syari’ah.
Berdasarkan pasal 9 huruf ( i ) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ditegaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa , mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syari’ah”. Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah, dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pergadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.
Sebelum turunnya UU No.3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama tersebut, penyelesaian permasalahan sengketa pada lembaga keuangan syari’ah adalah sebagai berikut:

a. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Perkembangan bisnis ummat muslim berdasar syari’ah makin menunjukkan kemajuannya, maka kebutuhan akan lembaga yang dapat menyelesaikan persengketaan yang terjadi atau mungkin terjadi dengan perdamaian dan prosesnya secara cepat merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memprakarsai berdirinya BAMUI dan mulai dioperasionalkan pada tanggal 1 Oktober 1993. Adapun tujuan dibentuk BAMUI adalah pertama : memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain, kedua : menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.

b. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berkedudukan di Jakarta dengan cabang-cabang atau perwakilan ditempat-tempat lain yang dianggap perlu.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) pada saat didirikan bernama Badan Arbitrase Muamalat indonesia (BAMUI). BAMUI didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993, berbadan hukum Yayasan. Akte pendiriannya di tandatangani oleh Ketua Umum MUI Bp. KH. Hasan Basri dan Sekretaris Umum Bp. HS Prodjokusumo. BAMUI dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan keputusan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI tahun 1992. Perubahan nama dari BAMUI menjadi BASYARNAS diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan nama, perubahan bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sesuai dengan Pedoman Dasar yang ditetapkan oleh MUI : ialah lembaga hakam yang bebas, otonom dan independent, tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan dan pihak-pihak manapun. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perangkat organisasi MUI sebagaimana DSN (Dewan Syariah Nasional), LP-POM (Lembaga Pengkajian, Pengawasan Obat-obatan dan makanan), YDDP (Yayasan Dana Dakwah Pembangunan).
Adapun dasar hukum pembentukan lembaga BASYARNAS sebagai berikut :
1). Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
2). SK MUI (Majelis Ulama Indonesia)
SK. Dewan Pimpinan MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga hakam (arbitrase syariah) satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa muamalah yang timbul dalam bidamng perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain.
3). Fatwa DSN-MUI
Semua fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri dengan ketentuan : ”Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.

c. Proses Ligitasi Pengadilan

Sengketa yang tidak dapat diselesaikan baik melalui sulh (perdamaian) maupun secara tahkim (arbitrase) akan diselesaikan melalui lembaga Pengadilan. Menurut ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dalam hal penyelesaian sengketa bisnis yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip syari’ah melalui litigasi Pengadilan terdapat beberapa kendala, antara lain belum tersedianya hukum materil baik yang berupa undang-undang maupun Kompilasi sebagai pegangan para hakim dalam memutus perkara. Disamping itu, masih banyak para aparat hukum yang belum mengerti tentang ekonomi syari’ah atau hukum bisnis Islam. Dalam hal yang menyangkut bidang sengketa, belum tersedia lembaga pennyidik khusus yang berkompeten menguasai hukum syariah.
Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelsesaikan sengketa bisnis (ekonomi) sayari’ah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana. Hal ini akan dicapai keselarasan antara hukum material yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga peradilan agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam, dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai hukum Islam. Sementara hal-hal yang berkaitan dengan kendala-kendala yang dihadapai oleh pengadilan agama dapat dikemukakan argumentasi bahwa pelimpahan wewenang mengadili perkara ekonomi syari’ah ke Pengadilan Agama pada dasarnya tidak akan berbenturan dengan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada Pengadilan agama. Hal ini sudah dijustifikasi melalui kerelaan para pihak untuk tunduk pada aturan syari’at Islam dengan menuangkannya dalam klausula kontrak yang disepakatinya. Selain kekuatiran munculnya kesan eksklusif dengan melimpahkan wewenang mengadili perkara ekonomi syari’ah ke Pengadilan Agama sebenarnya berlebihan, karena dengan diakuinya lembaga ekonomi syari’ah dalam undang-undang tersebut berarti Negara sudah mengakui eksistensinya untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah kapada siapa saja, termasuk juga kepada yang bukan beragama Islam.

IV. Penutup

Dengan adanya Lembaga Keuangan syari’ah, khususnya Bank Syari’ah yang mendasarkan prinsip operasionalnya berdasarkan syari’ah Islam, maka pemberlakuan hukum syari’ah dan hukum positif (sebagai lembaga perbankan) melekat pada lembaga tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian perkara (sengketa hukum) dalam perbankan syari’ah juga berbeda dengan penyelesaian sengketa di perbankan konvensional. Sehingga pemerintah mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi syari’ah.
Sebelum lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum formil dan hukum materiel tentang ekonomi syari’ah dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, sebaiknya hakim Pengadilan Agama menguasai hukum perjanjian yang terdapat dalam hukum perdata umum (KUH Perdata), juga semua fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Indonesia, dan Dewan Wakaf Nasional Indonesia. Saat ini Kelompok Kerja Perdata Agama (Pokja Perdata Agama) Mahkamah Agung RI bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat (PPHIM) sedang menyusun semacam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah untuk menjadi pegangan aparat lembaga Peradilan Agama, tentu hal ini sambil menunggu peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan ekonomi syari’ah diterbitkan. (kdb).

Daftar Pustaka
- Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syari’ah:Dari Teori ke Praktek,Gema Insani Press,Jakarta, 2001.
- Abdul Manan, DR.H.SH.,SIP.,M.Hum, Makalah ”Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah, Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama”, Diskusi Panel FH Yarsi, Jakarta, 14 Maret 2007.
- Azwar Karim, Adiwarman, Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan, IIIT Yogyakarta, 2003.
- Perluasan Kewenangan Peradilan Agama sesuai Undang-Undang No.3 Tahun 2006, Direktorat Perbankan Syari’ah Bank Indonesia, Handout.
- Mohamad Hoessein, Makalah Aplikasi Akad Dalam Operasional Perbankan Syari’ah, Seminar Pemahaman UU No.3 Th.2006 Perihal Ekonomi Syari’ah, 5 Juni 2006. Yoyakarta.
- Kadar Budiman, Skripsi ”Analisis Terhadap Akad Pembiayaan Murabahah pada Bank Muamalat Indonesia Dalam Perspektif Hukum Positif. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 2004.

Tidak ada komentar: