Kamis, 28 Mei 2009

PEMASARAN PERBANKAN SYARI’AH

Pendahuluan
Global Financial Crisis (GFC) yang mulai melanda dunia di awal kwartal ketiga tahun 2008 dan dampaknya masih dirasakan sampai sekarang, bagi perbankan syari’ah pada hakekatnya bisa menjadi peluang sekaligus tantangan. Menjadi peluang, karena dengan adanya krisis keuangan global tersebut, mengakibatkan sistem ekonomi liberal yang selama ini menjadi mainstream sistem ekonomi dunia mulai goyah. Sebagian orang sudah mulai meragukan akan kehebatan sistem ekonomi yang dianut oleh Amerika Serikat dan dunia Barat pada umumnya. Dan inilah saatnya sistem Ekonomi Islam mampu menunjukkan kiprahnya di tengah peluang mulai surutnya sistem ekonomi liberal.

GFC menjadi tantangan, karena tidak dipungkiri bahwa Indonesia juga menjadi negara yang terpengaruh negatif dengan adanya krisis tersebut. Sehingga kondisi dan pertumbuhan perekonomian nasional memburuk yang tentu dampaknya merambah ke berbagai sektor ekonomi. Tampilnya ekonomi Islam di Indonesia yang selama ini direpresentasikan oleh lembaga keuangan syari’ah khususnya perbankan syari’ah harus mampu menunjukkan kinerja yang terbaik dalam masa ini, bukan hanya kinerja internal namun kinerja secara global (industri) untuk menjadi bagian dari solusi atas dampak krisis keuangan global di negeri ini.

Pada kenyataannya, industri perbankan syari’ah nasional terhindar dari pengaruh langsung krisi keuangan global karena dua hal. Pertama, perbankan syari’ah tidak memiliki eksposur investasi sektor perumahan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui surat-surat berharga yang terkait dengan sektor perumahan di Amerika Serikat. Kedua, perbankan syari’ah tidak memiliki eksposur yang signifikan dalam bentuk valuta asing. Sehingga, eksposur pembiayaan dan pendanaan bank syari’ah yang masih didominasi di perekonomian domestik diharapkan industri perbankan syari’ah nasional akan tetap mengalami pertumbuhan yang tinggi.

Secara nasional, bila kita melihat kondisi saat ini menyiratkan penerimaan perbankan syari’ah di masyarakat cukup baik, hal ini dapat kita lihat pada pertumbuhan asset perbankan syari’ah dengan share asset perbankan syari’ah mencapai 2,14% di tahun 2008 yakni Rp. 49,55 triliun. Khusus untuk BPR Syari’ah memiliki share asset sebesar 4,95% dari total asset BPR di Indonesia. Namun akibat pengetatan likuiditas di industri perbankan di akhir tahun 2008, terjadi penurunan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 31,5% lebih rendah daripada tahun 2007 sebesar 36,7%. Profitabilitas perbankan syari’ah untuk Return On Asset (ROA) sebesar 1,57% lebih rendah dari tahun 2007 yang sebesar 1,78%.

Kalau kita lihat perkembangan perbankan syari’ah wilayah eks karsidenan Banyumas tahun 2008 sebesar 50,72% dibandingkan dengan perbankan konvensional yang hanya tumbuh sebesar 8,45%. Dan berada di atas rata-rata pertumbuhan perbankan syari’ah secara nasional.Demikian juga untuk DPK tumbuh sebesar 39,98% di tahun 2008 dan pembiayaan sebesar 14,82%. Berarti rata-rata pertumbuhan perbankan syari’ah di wilayah ini berada di atas rata-rata pertumbuhan perbankan syari’ah nasional.

Pemasaran Perbankan Syari’ah
Perbankan syari’ah tumbuh di Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara lain yang sudah memiliki industri perbankan syari’ah yang baik seperti di Malaysia, Pakistan, Bahrain, Kuwait, Iran dan negara-negara di Timur Tengah lainnya. Perbankan syari’ah di Indonesia lebih dominan berkembang atas prakarsa sendiri atau tumbuh dengan sendirinya. Terbukti selama tahun 1992 (berdirinya Bank Muamalat sebagai bank umum syari’ah pertama) UU perbankan baru mengadopsi pengaturan perbankan syari’ah di tahun 2008 dengan terbitnya UU No.10 Tahun 1998, bahkan UU Perbankan Syari’ah sendiri baru disahkan pada tahun 2008 atau sepuluh tahun kemudian yakni UU No.21 Tahun 2008.

Untuk negara-negara yang sudah relatif maju perbankan syari’ahnya lebih dominan dikembangkan atas prakarsa pemerintah, contohnya seperti Malaysia yang menyediakan infrastruktur lengkap untuk industri ini dan memberlakukan beberapa insentif khusus pada perbankan syari’ah sebagai sebuah bank yang menerapkan sistem keuangan yang berpihak pada sektor riil. Wajar jika pada negara-negara tersebut di atas rata-rata pangsa pasar perbankan syari’ah sudah berada di atas 10%.

Posisi Indonesia sebagai negara yang terbanyak penduduknya keempat di dunia yakni sebesar 228,523 juta jiwa (3,41% penduduk dunia) dan sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia sangat potensial bagi pasar industri perbankan syari’ah. Maka, strategi pemasaran yang diterapkan juga harus melihat aspek potensi dan karakteristik pasar perbankan di Indonesia. Jika sampai sekarang share perbankan syari’ah baru mencapai 2,14% maka sewajarnya perlu banyak perbaikan dan evaluasi mendalam atas strategi pengembangan perbankan syari’ah yang telah berumur lebih dari 10 tahun di Indonesia.

Bank Indonesia sendiri sebenarnya telah mengeluarkan sebuah Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syari’ah. Grand strategy ini diharapkan menjadi acuan bagi pelaku perbankan syari’ah dalam mengelola aspek-aspek strategis yang diperlukan untuk memperluas penetrasi dan peningkatan pangsa pasar. Di dalamnya terdapat rumusan strategi Positioning, Differentiation, dan Branding (PDB) Perbankan Syari’ah berdasarkan karakteristik masyarakat. Sehingga diharapkan kehadiran dan kemanfaatan produk dan jasa perbankan syari’ah akan menyentuh lebih luas dirasakan oleh masyarakat. Strategi branding yang dirumuskan menekankan pada pengkomunikasian kelebihan produk dan jasa perbankan syari’ah yang lebih beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi. Maka dibuat identitas khas dari industri perbankan syari’ah yang perlu dikedepankan oleh industri yakni “Bank Syari’ah, Lebih Dari Sekedar Bank”


Namun, untuk strategi pemasaran perbankan syari’ah saat ini, penulis lebih ingin menganalisa pada elemen marketing mix yakni product, price, place dan promotion perbankan syari’ah ditambah dengan faktor pengembangan SDM perbankan syari’ah. Untuk elemen produk, ada beberapa strategi yang harus dilakukan perbankan syari’ah untuk mampu mengambil pangsa pasar yang lebih luas, yakni pertama, inovasi produk yang terus-menerus dengan menekankan aspek one stop service banking dan teknologi yang dinamis. Bahkan harus diupayakan, produk perbankan syari’ah lebih inovatif dan teknologi yang digunakan juga lebih maju dari perbankan konvensional. Hal ini dikarenakan kecenderungan produk bank syari’ah masih tertinggal teknologi dan inovasi produk. Kedua, melakukan upaya positioning produk yang jelas di pasar perbankan sehingga dihasilkan produk yang unggul di pasar rasional maupun spiritual dengan berorientasi pada pemenuhan terhadap perilaku konsumen secara umum. Branding “Bank Syari’ah, Lebih Dari Sekedar Bank” harus benar-benar teraplikasikan dalam produk-produknya yang memiliki keunggulan nyata di pasar. Dan ketiga, melakukan standarisasi pelayanan produk (pra /pasca pembelian) yang lebih baik dengan menyediakan infrastruktur layanan penjualan produk yang memadai, baik pada funding products maupun landing products..

Untuk harga (price), sebenarnya tidak menjadi faktor dominan dalam keberhasilan pemasaran produk perbankan syari’ah kalau seandainya positioning produk perbankan syari’ah sudah mampu dicapai dengan differensiasi yang kuat di pasar. Saat ini bagi hasil produk simpanan perbankan syari’ah sudah mampu bersaing (kompetitif) dengan bunga perbankan konvensional pada umumnya. Dan ini sebenarnhya menjadi keunggulan tersendiri bagi industri perbankan syari’ah. Di sisi lain, beberapa produk perbankan syari’ah sudah menjadi branding yang sangat kuat melalui pendekatan peluang price, seperti produk shar-e Bank Muamalat dikenal tabungan instant yang murah dan mudah didapatkan. Sehingga dalam jangka waktu kurang dari 4 tahun produk shar-e telah memiliki lebih 2 juta customer based. Bank Muamalat jeli memanfaatkan peluang price sebagai differentiation disamping aliansi penjualan dan layanan, yakni dengan menerapkan saldo minimal nol rupiah dan pembukaan tabungan yang relatif murah atau terjangkau. Jadi, strategi penerapan harga yang sesuai dan berorientasi pada karakteristik pasar sasaran menjadi faktor yang penting untuk terus diterapkan. Hal ini juga berlaku pada landing products bank syari’ah.

Strategi distribusi (place) produk perbankan syari’ah, lebih pada mengatasi kekurangan jaringan yang dimiliki perbankan syari’ah dibandingkan dengan perbankan konvensional. Pilihan aliansi penjualan dan aliansi produk harus menjadi cara yang bijak menyikapi kekurangan jaringan layanan dan penjualan di industri perbankan syari’ah Indonesia. Seperti telah disebutkan, keberhasilan produk shar-e melakukan aliansi penjualan dengan PT.POS Indonesia yang memiliki jaringan sangat luas di Indonesia, adalah contoh upaya mengatasi kekurangan tadi. Aliansi jaringan layanan penjualan produk dengan kombinasi strategi harga yang sesuai menjadi pilihan cerdas Bank Muamalat untuk melakukan differensiasi ekspansi pasar funding perbankan syari’ah. Selain memiliki fungsi meraup dana pihak ketiga masyarakat, ternyata produk Shar-e juga telah mampu menjembatani potensial customers di daerah-daerah yang belum terjangkau layanan perbankan syari’ah untuk menabung di bank syari’ah melalui kantor pos on line (lebih dari 3500 jaringan kantor on-line).

Promotion dalam pemasaran perbankan syari’ah, pelaku industri perbankan syari’ah tampaknya belum mampu memaksimalkan potensi promosi dan sosialisasi yang baik. Memang faktor besarnya promotion cost menjadi momok bagi bank syari’ah untuk melakukan promosi masif dan sosialisasi yang luas kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kekuatan financial perbnkan syari’ah masih sangat kecil dibandingkan kompetitor perbankan konvensional. Kita sangat mengharapkan perananan yang lebih besar kepada pemerintah dalam hal ini otoritas moneter perbankan untuk terus melakukan upaya sosialisasi yang masif dan berkelanjutan terhadap industri perbankan syari’ah. Promosi tersebut haru saling bersinergi baik yang melalui up the line maupun melalui below the line. Pembentukan lembaga dan organisasi berbasis ekonomi Islam di masyarakat, seperti ASBISINDO, PKES, MES, IAEI, FOSSEI, akan mampu juga menjadi mitra strategis promosi sekaligus sosialisasi perbankan syari’ah yang lebih efektif dan luas.

Demikian pula forum-forum kegiatan seperti Festival Ekonomi Syari’ah (FES) yang diadakan dalam lingkup nasional harus mampu menjadi ajang promosi dan sosialisasi. Sehingga pelaku perbankan syari’ah, individu maupun institusi haru mendukung semua upaya dan kegiatan tersebut. Penulis juga merasa yakin, bahwa industri perbankan syari’ah akan berkembang seiring dengan perkembangan dakwah Islam di dunia. Semakin dakwah Islam berkembang di suatu tempat, maka berkembang dengan baik pula perbankan syari’ah di tempat tersebut.

Terakhir, pengembangan SDM perbankan syari’ah juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan pemasaran perbankan syari’ah itu sendiri. Kebutuhan yang tinggi dan ketersediaan tenaga profesional di bidang perbankan syari’ah yang masih sangat terbatas menjadi gap yang perlu untuk disikapi. Menurut Prof.DR. Suroso Imam Zadjuli,SE. kebutuhan Sumber Daya Insani dalam jangka menengah tahun mendatang saja diperlukan lulusan D3 s/d Doktor dalam ilmu ekonomi Islam sebanyak 38.940 orang. Sementara untuk jangka panjang 10 s/d 30 tahun diperlukan sebanyak 125.790 orang.

Maka diperlukan lembaga pencetakan lulusan-lulusan di bidang ekonomi Islam melaku lembaga pendidikan dan non pendidikan. Dilengkapi dengan kurikulum yang sesuai agar melahirkan lulusan yang mampu menelorkan konsep-konsep teori ekonomi Islam. Niscaya, dengan dasar pendidikan pelaku perbankan syari’ah yang memadai, akan mampu bersaing dan berdaya guna di industri perbankan nantinya. Kondisi saat ini, sebagian pelaku perbankan syari’ah justru berasal dari lulusan pendidikan non ekonomi syari’ah (konvensional), walaupun banyak diantara mereka yang cepat belajar bahkan lebih baik pemahamannya daripada profesional yang memiliki background pendidikan sesuai.

Dalam konteks pemasaran, diperlukan SDM yang memiliki kompetensi dalam bidangnya masing-masing, innovatif, menguasai tentang produk yang up to date dan berorientasi penjualan, pemahaman tentang kebutuhan pelanggan, consultative selling skills, dan dukungan pelatihan yang berkesinambungan berikut reinforcement-nya dari manajemen perusahaan. Hal ini sangat diperlukan dalam pemasaran, karena dalam pemasaran akan terus terjadi perubahan-perubahan, termasuk di industri perbankan, maka juga dibutuhkan pelaku perbankan syari’ah yang professional, militan dan mampu menyiapkan secara berkelanjutan generasi yang lebih baik. @selesai


Daftar Pustaka

Kantor Bank Indonesia Purwokerto, Kajian Ekonomi Regional Eks Karesidenan Banyumas Semester II 2008, Purwokerto, 2008.
Markplus Institute of Marketing (MIM), Comprehensive Professional Selling Skill Program. Jakarta , May 2009.
MarkPlus & Co, Positioning Differensiasi Brand (Memenangkan Persaingan dengan segitiga positioning-differensiasi-brand), Gramedia :Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
Majalah Ekono-mix Syari’ah, edisi Maret, Bandung, 2009.

Website Bank Indonesiah: ttp://www.bi.co.id. Perkembangan Perbankan Syari’ah Tahun 2008.

Tidak ada komentar: